NAMAKU
SANGKUNI
Entah salah siapa saya
tidak tahu sampai saat ini jawabannya, tak seorangpun bisa memberikan jawaban
yang memuaskan. Kenapa saya diberi nama Sangkuni, tokoh wayang yang hobby nya
meniupkan untaian kalimat bernada fitnah yang bertujuan untuk mengadu-domba dua
tokoh berbeda? Konon katanya saya diberi nama dari tokoh pewayangan karena ibu
saya almarhum senang membaca kisah Mahabrata waktu mengandung saya. Selalu
muncul dalam benak saya seolah menuntut ibu saya yang tidak memberi nama dengan
tokoh-tokoh idola dalam pewayangan, seperti Sinta, Srikandi atau siapa saja
pokoknya yang punya sifat-sifat baik. Parahnya Sangkuni itu nama laki-laki. Pertanyaan
ini terus menerus memenuhi ruang memori kepala saya dari kecil sampai saya
dewasa.
Awalnya saya tidak tahu
asal-usul nama saya dan tidak pernah peduli kenapa saya diberi nama, bla bla
bla. Toch saya mengutip yang dikatakan Shakespeare apalah arti sebuah nama,
mawar itu wangi dan indah mau diberi nama apapun! Ya, benar.... Sama seperti
saya, walau nama saya hanya satu kata tapi saya adalah gadis yang kata orang
cantik dan supel. Nama panggilan tak masalah, ada yang manggil”Sang”, ada yang
memanggil “Kun” dan ada juga yang cukup dengan “Nie”. Tapi diantara
panggilan-panggilan itu saya lebih senang dengan panggilan “Nie”, karena yang
dipanggil dengan “Nie”, bisa dari nama Anie, Yanie, Sanie, Ranie..
Suatu hari di Sekolah
saya kedatangan guru kelas V baru, namanya Ibu Sinta. Dia guru bahasa Indonesia
dari kota. Bu Sinta cantik, tinggi, langsing dan berkacamata. Pertama masuk dia
berkenalan, memperkenalkan nama, alamat dan hobbynya. Dia juga mengatakan
kenapa namanya Sinta, tokoh cantik istri Rama, yang konon diculik raksasa.
Setelah perkenalan dirinya lalu Ibu guru mulai memanggil nama kami satu persatu. Ketika
tiba nama saya dipanggil, Bu guru Sinta mengernyitkan dahinya. “Namamu
Sangkuni?” “Iya, Bu”. Setelah beres mengabsen semua nama murid di kelas bu
Sinta kembali bercerita tentang Mahabrata yang tadi sedikit diulas waktu dia
menceritakan asal usul nama Sinta. Panjang lebar bu guru bercerita yang membuat
terpesona semua murid yang memang baru pertama kali tahu ada cerita tokoh
pewayangan yang terkenal sejagat itu, kecuali saya yang sama sekali tidak suka. Kami tidak pernah tahu
cerita itu, karena selama ini yang kami tahu hanya cerita Kabayan, Sangkuriang
dan Siti Nurbaya. Selesai cerita Mahabrata bu guru bertanya kepada murid,
“siapa saja tokoh baik?” “Rama, Sinta, Yudistira, Arjuna, bla,bla,bla”. “Siapa
tokoh jahat?” “Sangkuni, Kurawa, bla,bla,bla”. “Tidaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk”,
jeritanku membuat seisi kelas senyap.
Setiap hari teman-teman
saya mengolok-olok nama saya. Dua tahun lamanya saya seperti ada ditengah bara
panas saat saya ada di lingkungan sekolah. Saya berubah jadi gadis pendiam yang
menyimpan dendam menggumpal. Saat pembagian ijasah adalah hari pertama hati
saya plong. Saya membayangkan kelak tak akan ada lagi yang mengolok-olok nama
saya. Kebetulan paman saya dari kota mengajak saya tinggal dan bersekolah di
sana. Saya dengan senang hati menerima
tawaran itu. Saya seperti menemukan udara baru, saya riang, saya menikmati
kesenangan ini.
Saat hari jumat ada
pelajaran bahasa Indonesia. Ibu guru kami bernama bu Febry. Saya bersyukur nama
guru saya bukan dari tokoh pewayangan. Ibu Febry beda dengan Ibu Sinta. Ibu
Febry guru senior, berusia 50an, tinggi, besar, terkesan judes. Saat masuk
kelas Ibu Febry membagi kami menjadi beberapa kelompok dan memberi kami
masing-masing hand out. “Plok”, rasanya satu tamparan keras terasa panas, perih
dan membakar saat saya baca cerita yang diberikan kepada kami. Tiba giliran
kami membahas apa yang jadi bahan diskusi. Saya ditunjuk untuk membacakan
tokoh-tokoh utama dan karakteristiknya. Serasa lidah saya bertambah berat dan
tebal sampai saya tak kuasa membuka mulut. Mulut saya terkatup semua mata
memandang saya. Bu Febry, teman-teman sekelompok, teman-teman sekelas, semua
menanti saya membaca. Saya hanya diam mematung tak bergerak seperti mummy hidup
di depan kelas. Tangan saya masih memegang kertas yang saya pelototi, ingin
rasanya tulisan-tulisan dalam kertas itu menguap atau terbang bersama tiupan
udara yang terhembus melalui ventilasi. “Ayo, Anne, kamu saja yang baca!”
“Baiklah, teman-teman, setelah kami mendiskusikan cerita berjudul ‘Jatuhnya
Indraprastha dari tangan Pandawa’, kamipun merangkum nama tokoh-tokoh beserta
karakteristik masing-masing. Tokoh baik adalah Arjuna, Bima, bla bla bla, dan
tokoh jahat Sangkuni, bla bla bla”. “Tidaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkk.....”,
kegaduhanpun timbul saat saya kejang-kejang di depan kelas. Hari-hari kemudian
adalah hari kelabu yang kembali terulang saat saya SD. Teman-teman saya
mentertawakan dan mengolok-olok saya kembali. Setiap bertemu di kelas, di luar,
di kantin, tak ada tempat yang aman dan terbebas dari olok-olok. Tiga tahun di
sesi kedua saya menelan kepahitan. Saya menjadi orang pendiam nyaris tak pernah
bersuara. Saya hanya mengangguk dan menggeleng saat ada yang mengajak saya
berkomunikasi.
Setelah lulus SMP paman
saya mengajak saya pindah ke ibu kota karena kenaikan jabatan dalam tugas dan
kecerdasannya. Bagi saya ini adalah keberuntungan. Saya bakal terbebas dari
siksaan yang lalu. Hari-hari pertama berlalu penuh tawa ceria. Sampai ada
pelajaran yang lagi-lagi membuatku makin membencinya. Ya, kembali kami diberi
pelajaran bercerita, lagi-lagi cerita Mahabrata, lagi-lagi ada tokoh baik dan
jahat, lagi-lagi Sangkuni terseret. “Tidaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk”,
teriakku lantang. Berbeda dengan beberapa tahun lalu. Sekarang saya berani
berontak. Saya jelaskan tanpa diminta oleh siapapun. “Dengar, teman-teman! Sangkuni sebetulnya bukan termasuk tokoh
jahat, dia adalah orang yang mengutarakan segala hal tanpa tedeng aling-aling.
Dia tidak suka berbasa-basi, dia tidak suka menutup-nutupi. Hanya tokoh-tokoh
bodoh yang menutupi kesalahan dirinya dengan melemparkan kesalahan pada
Sangkuni. Tokoh polos dan tak menggunakan nalar yang terombang-ambing oleh
perkataan Sangkuni. Tokoh sok suci yang merasa dikebiri oleh reka cerita
Sangkuni”. Kelaspun jadi perdebatan dan kini saya menang. Tokoh Sangkuni saya
hidupkan dengan versi saya. Saya tak ingin tokoh Sangkuni jadi bulan-bulanan.
Saya mengamandemen cerita sendiri. Saya tidak suka nama saya menjadi tokoh
jahat seumur hidup. Saatnya saya merehabilitasi nama saya.
Kesuksesan
mempertahankan pendapat saya mempunyai efek luar biasa. Semua teman tak ada
yang berani mengolok-olok nama Sangkuni seperti waktu saya di SD dan SMP. Nama
Sangkuni sekarang menjadi topik bukan karena dikenal tokoh jahat, tapi nama
Sangkuni adalah nama seorang murid SMA terkenal, cantik, cerdas, berwawasan
luas, dan kelihaian berdebat yang tak terkalahkan. Saya berhasil mengibarkan
nama besar Sangkuni di kalangan saya. Setiap ada lomba debat selalu Sangkuni,
Sangkuni, Sangkuni, menggema menggelora menyusupi dinding pembatas dunia.
Sangkuni memenangkan lomba debat Se SMA, Sangkuni menang lomba debat bahasa
Inggris, Sangkuni memenangkan lomba debat Sejarah, nama Sangkuni bertebaran
dimana-mana.
Jurusan komunikasi masa
saya ambil setelah lulus SMA dan saya makin cerdas meramu teori, opini dan
argumentasi. Lidah saya makin mahir menguntai kata dan membuat orang terpesona.
Komunikasi membentangkan asa ke depan. Saya tidak ingin dicap tokoh jahat
dengan lidah pedasnya. Saya ingin jadi tokoh baik dengan lidah dan tingkah.
Menjadi tokoh partai
menjadi impian saya. Kenapa tidak? Saya punya modal lidah. Ternyata Dewi
Fortuna berpihak pada saya. Jalan saya mulus dan licin seperti jalan Tol disaat
hujan, meluncur bebas tapi terjun ditempat yang dituju. Saya mulai mengepakkan
sayap dengan kemampuan debat. Saya banyak bersuara tanpa diminta sekalipun.
Saya jadi nara sumber dimana-mana. Saya mengambil alih semua tugas humas dan
Jubir di partai. Saya melangkah bebas menelurkan ide-ide partai kepada semua
stasiun TV yang mengundang saya. Saya menyampaikan semua pandangan saya maupun
pandangan partai saya kepada publik. Saya diatas angin dengan lidah saya bisa
ada dimana-mana. Foto saya terpampang di media masa, ucapan saya terekam
disemua ruangan, eksyen saya beredar di dunia maya, Sangkuni jadi tokoh besar.
Semua tokoh partai mendekati saya. Saya diajak bertukar pikiran dengan
mereka-mereka, saya selalu menjawab semua yang dipandang rahasia oleh orang
lain, saya selalu membeberkan ide partai saya yang tidak pernah diekspos oleh
rekan separtai. Lama-lama Partai tempat saya bergabung gerah dengan ulah saya.
Saya didepak dari kursi saya tapi saya berontak, namun usaha saya tak berbuah
karena terlalu keras tangan-tangan penguasa mengalahkan lidah saya. Hanya
sebentar saya ada dalam bimbang. Dewi keberuntungan lagi-lagi dipihak saya. Saya
dilamar oleh semua partai yang jadi saingan partai tempat saya bernaung waktu
itu. Saya menjatuhkan pilihan pada partai mungil yang baru bertunas. Saya
promosikan partai saya dan dengan kelihaian lidah saya paparkan visi misi
partai pada semua orang tanpa terkecuali. Lagi-lagi modal saya hanya lidah.
Makin lama lidah saya tidak perlu digerakan lagi karena sepertinya lidah saya
sudah mengerti apa yang akan saya sampaikan. Belum lagi saya bersuara lidah
saya sudah terjulur dan semua orang mengerti apa yang diucapkan. Ke pasar saya
julurkan lidah, blusukan ala Jokowi saya laksanakan dengan menjulurkan lidah,
ke tempat-tempat keramaian massa saya julurkan lidah, ke tempat-tempat
strategis saya julurkan lidah, di gedung terhormat saya julurkan lidah. Semakin
saya beraktifitas semakin menjulur lidah saya. Sampai suatu hari saya dipanggil
ke Komisi yang memberantas semua kejahatan di muka bumi ini, saya
bertanya-tanya, apa salah saya. Semua orang yang saya tanya tidak bersuara.
Lidah saya terjulur dan terjulur dengan sendirinya karena saking terbiasanya.
Tapi di ruang sempit ini tak ada yang peduli dengan saya. Lidah saya terus
menerus menjulur tanpa bisa diatur, menjulur dan menjulur. Sampai saya
kelelahan dan akhirnya tertidur dengan lidah menjulur. Dan hari ini saya duduk
di kursi terdakwa. Didepan hakim lidah saya kembali terjulur. Jaksa penuntut
membacakan tuntutannya dan hakim mengabulkannya. Saat saya tanya pada pengacara
saya, dia menjawab:” Anda bersalah karena punya lidah Sangkuni”.
Bandung barat,
medio Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar