Jumat, 27 September 2013

CERPEN



NAMAKU SANGKUNI
Entah salah siapa saya tidak tahu sampai saat ini jawabannya, tak seorangpun bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Kenapa saya diberi nama Sangkuni, tokoh wayang yang hobby nya meniupkan untaian kalimat bernada fitnah yang bertujuan untuk mengadu-domba dua tokoh berbeda? Konon katanya saya diberi nama dari tokoh pewayangan karena ibu saya almarhum senang membaca kisah Mahabrata waktu mengandung saya. Selalu muncul dalam benak saya seolah menuntut ibu saya yang tidak memberi nama dengan tokoh-tokoh idola dalam pewayangan, seperti Sinta, Srikandi atau siapa saja pokoknya yang punya sifat-sifat baik. Parahnya Sangkuni itu nama laki-laki. Pertanyaan ini terus menerus memenuhi ruang memori kepala saya dari kecil sampai saya dewasa.
Awalnya saya tidak tahu asal-usul nama saya dan tidak pernah peduli kenapa saya diberi nama, bla bla bla. Toch saya mengutip yang dikatakan Shakespeare apalah arti sebuah nama, mawar itu wangi dan indah mau diberi nama apapun! Ya, benar.... Sama seperti saya, walau nama saya hanya satu kata tapi saya adalah gadis yang kata orang cantik dan supel. Nama panggilan tak masalah, ada yang manggil”Sang”, ada yang memanggil “Kun” dan ada juga yang cukup dengan “Nie”. Tapi diantara panggilan-panggilan itu saya lebih senang dengan panggilan “Nie”, karena yang dipanggil dengan “Nie”, bisa dari nama Anie, Yanie, Sanie, Ranie..
Suatu hari di Sekolah saya kedatangan guru kelas V baru, namanya Ibu Sinta. Dia guru bahasa Indonesia dari kota. Bu Sinta cantik, tinggi, langsing dan berkacamata. Pertama masuk dia berkenalan, memperkenalkan nama, alamat dan hobbynya. Dia juga mengatakan kenapa namanya Sinta, tokoh cantik istri Rama, yang konon diculik raksasa. Setelah perkenalan dirinya lalu Ibu guru  mulai memanggil nama kami satu persatu. Ketika tiba nama saya dipanggil, Bu guru Sinta mengernyitkan dahinya. “Namamu Sangkuni?” “Iya, Bu”. Setelah beres mengabsen semua nama murid di kelas bu Sinta kembali bercerita tentang Mahabrata yang tadi sedikit diulas waktu dia menceritakan asal usul nama Sinta. Panjang lebar bu guru bercerita yang membuat terpesona semua murid yang memang baru pertama kali tahu ada cerita tokoh pewayangan yang terkenal sejagat itu, kecuali saya yang  sama sekali tidak suka. Kami tidak pernah tahu cerita itu, karena selama ini yang kami tahu hanya cerita Kabayan, Sangkuriang dan Siti Nurbaya. Selesai cerita Mahabrata bu guru bertanya kepada murid, “siapa saja tokoh baik?” “Rama, Sinta, Yudistira, Arjuna, bla,bla,bla”. “Siapa tokoh jahat?” “Sangkuni, Kurawa, bla,bla,bla”. “Tidaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk”, jeritanku membuat seisi kelas senyap.
Setiap hari teman-teman saya mengolok-olok nama saya. Dua tahun lamanya saya seperti ada ditengah bara panas saat saya ada di lingkungan sekolah. Saya berubah jadi gadis pendiam yang menyimpan dendam menggumpal. Saat pembagian ijasah adalah hari pertama hati saya plong. Saya membayangkan kelak tak akan ada lagi yang mengolok-olok nama saya. Kebetulan paman saya dari kota mengajak saya tinggal dan bersekolah di sana. Saya dengan senang hati  menerima tawaran itu. Saya seperti menemukan udara baru, saya riang, saya menikmati kesenangan ini.
Saat hari jumat ada pelajaran bahasa Indonesia. Ibu guru kami bernama bu Febry. Saya bersyukur nama guru saya bukan dari tokoh pewayangan. Ibu Febry beda dengan Ibu Sinta. Ibu Febry guru senior, berusia 50an, tinggi, besar, terkesan judes. Saat masuk kelas Ibu Febry membagi kami menjadi beberapa kelompok dan memberi kami masing-masing hand out. “Plok”, rasanya satu tamparan keras terasa panas, perih dan membakar saat saya baca cerita yang diberikan kepada kami. Tiba giliran kami membahas apa yang jadi bahan diskusi. Saya ditunjuk untuk membacakan tokoh-tokoh utama dan karakteristiknya. Serasa lidah saya bertambah berat dan tebal sampai saya tak kuasa membuka mulut. Mulut saya terkatup semua mata memandang saya. Bu Febry, teman-teman sekelompok, teman-teman sekelas, semua menanti saya membaca. Saya hanya diam mematung tak bergerak seperti mummy hidup di depan kelas. Tangan saya masih memegang kertas yang saya pelototi, ingin rasanya tulisan-tulisan dalam kertas itu menguap atau terbang bersama tiupan udara yang terhembus melalui ventilasi. “Ayo, Anne, kamu saja yang baca!” “Baiklah, teman-teman, setelah kami mendiskusikan cerita berjudul ‘Jatuhnya Indraprastha dari tangan Pandawa’, kamipun merangkum nama tokoh-tokoh beserta karakteristik masing-masing. Tokoh baik adalah Arjuna, Bima, bla bla bla, dan tokoh jahat Sangkuni, bla bla bla”. “Tidaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkk.....”, kegaduhanpun timbul saat saya kejang-kejang di depan kelas. Hari-hari kemudian adalah hari kelabu yang kembali terulang saat saya SD. Teman-teman saya mentertawakan dan mengolok-olok saya kembali. Setiap bertemu di kelas, di luar, di kantin, tak ada tempat yang aman dan terbebas dari olok-olok. Tiga tahun di sesi kedua saya menelan kepahitan. Saya menjadi orang pendiam nyaris tak pernah bersuara. Saya hanya mengangguk dan menggeleng saat ada yang mengajak saya berkomunikasi.
Setelah lulus SMP paman saya mengajak saya pindah ke ibu kota karena kenaikan jabatan dalam tugas dan kecerdasannya. Bagi saya ini adalah keberuntungan. Saya bakal terbebas dari siksaan yang lalu. Hari-hari pertama berlalu penuh tawa ceria. Sampai ada pelajaran yang lagi-lagi membuatku makin membencinya. Ya, kembali kami diberi pelajaran bercerita, lagi-lagi cerita Mahabrata, lagi-lagi ada tokoh baik dan jahat, lagi-lagi Sangkuni terseret. “Tidaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk”, teriakku lantang. Berbeda dengan beberapa tahun lalu. Sekarang saya berani berontak. Saya jelaskan tanpa diminta oleh siapapun. “Dengar, teman-teman!  Sangkuni sebetulnya bukan termasuk tokoh jahat, dia adalah orang yang mengutarakan segala hal tanpa tedeng aling-aling. Dia tidak suka berbasa-basi, dia tidak suka menutup-nutupi. Hanya tokoh-tokoh bodoh yang menutupi kesalahan dirinya dengan melemparkan kesalahan pada Sangkuni. Tokoh polos dan tak menggunakan nalar yang terombang-ambing oleh perkataan Sangkuni. Tokoh sok suci yang merasa dikebiri oleh reka cerita Sangkuni”. Kelaspun jadi perdebatan dan kini saya menang. Tokoh Sangkuni saya hidupkan dengan versi saya. Saya tak ingin tokoh Sangkuni jadi bulan-bulanan. Saya mengamandemen cerita sendiri. Saya tidak suka nama saya menjadi tokoh jahat seumur hidup. Saatnya saya merehabilitasi nama saya.
Kesuksesan mempertahankan pendapat saya mempunyai efek luar biasa. Semua teman tak ada yang berani mengolok-olok nama Sangkuni seperti waktu saya di SD dan SMP. Nama Sangkuni sekarang menjadi topik bukan karena dikenal tokoh jahat, tapi nama Sangkuni adalah nama seorang murid SMA terkenal, cantik, cerdas, berwawasan luas, dan kelihaian berdebat yang tak terkalahkan. Saya berhasil mengibarkan nama besar Sangkuni di kalangan saya. Setiap ada lomba debat selalu Sangkuni, Sangkuni, Sangkuni, menggema menggelora menyusupi dinding pembatas dunia. Sangkuni memenangkan lomba debat Se SMA, Sangkuni menang lomba debat bahasa Inggris, Sangkuni memenangkan lomba debat Sejarah, nama Sangkuni bertebaran dimana-mana.
Jurusan komunikasi masa saya ambil setelah lulus SMA dan saya makin cerdas meramu teori, opini dan argumentasi. Lidah saya makin mahir menguntai kata dan membuat orang terpesona. Komunikasi membentangkan asa ke depan. Saya tidak ingin dicap tokoh jahat dengan lidah pedasnya. Saya ingin jadi tokoh baik dengan lidah dan tingkah.
Menjadi tokoh partai menjadi impian saya. Kenapa tidak? Saya punya modal lidah. Ternyata Dewi Fortuna berpihak pada saya. Jalan saya mulus dan licin seperti jalan Tol disaat hujan, meluncur bebas tapi terjun ditempat yang dituju. Saya mulai mengepakkan sayap dengan kemampuan debat. Saya banyak bersuara tanpa diminta sekalipun. Saya jadi nara sumber dimana-mana. Saya mengambil alih semua tugas humas dan Jubir di partai. Saya melangkah bebas menelurkan ide-ide partai kepada semua stasiun TV yang mengundang saya. Saya menyampaikan semua pandangan saya maupun pandangan partai saya kepada publik. Saya diatas angin dengan lidah saya bisa ada dimana-mana. Foto saya terpampang di media masa, ucapan saya terekam disemua ruangan, eksyen saya beredar di dunia maya, Sangkuni jadi tokoh besar. Semua tokoh partai mendekati saya. Saya diajak bertukar pikiran dengan mereka-mereka, saya selalu menjawab semua yang dipandang rahasia oleh orang lain, saya selalu membeberkan ide partai saya yang tidak pernah diekspos oleh rekan separtai. Lama-lama Partai tempat saya bergabung gerah dengan ulah saya. Saya didepak dari kursi saya tapi saya berontak, namun usaha saya tak berbuah karena terlalu keras tangan-tangan penguasa mengalahkan lidah saya. Hanya sebentar saya ada dalam bimbang. Dewi keberuntungan lagi-lagi dipihak saya. Saya dilamar oleh semua partai yang jadi saingan partai tempat saya bernaung waktu itu. Saya menjatuhkan pilihan pada partai mungil yang baru bertunas. Saya promosikan partai saya dan dengan kelihaian lidah saya paparkan visi misi partai pada semua orang tanpa terkecuali. Lagi-lagi modal saya hanya lidah. Makin lama lidah saya tidak perlu digerakan lagi karena sepertinya lidah saya sudah mengerti apa yang akan saya sampaikan. Belum lagi saya bersuara lidah saya sudah terjulur dan semua orang mengerti apa yang diucapkan. Ke pasar saya julurkan lidah, blusukan ala Jokowi saya laksanakan dengan menjulurkan lidah, ke tempat-tempat keramaian massa saya julurkan lidah, ke tempat-tempat strategis saya julurkan lidah, di gedung terhormat saya julurkan lidah. Semakin saya beraktifitas semakin menjulur lidah saya. Sampai suatu hari saya dipanggil ke Komisi yang memberantas semua kejahatan di muka bumi ini, saya bertanya-tanya, apa salah saya. Semua orang yang saya tanya tidak bersuara. Lidah saya terjulur dan terjulur dengan sendirinya karena saking terbiasanya. Tapi di ruang sempit ini tak ada yang peduli dengan saya. Lidah saya terus menerus menjulur tanpa bisa diatur, menjulur dan menjulur. Sampai saya kelelahan dan akhirnya tertidur dengan lidah menjulur. Dan hari ini saya duduk di kursi terdakwa. Didepan hakim lidah saya kembali terjulur. Jaksa penuntut membacakan tuntutannya dan hakim mengabulkannya. Saat saya tanya pada pengacara saya, dia menjawab:” Anda bersalah karena punya lidah Sangkuni”.                               
                                                                                                          Bandung barat, medio Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar