Rabu, 25 Juli 2012

cerpen

ULAR
“Jeng….. ada produk baru lho, itu… tas mungil, aduuuhhh… kulitnya mengkilap, warna emas putih keperak-perakan.. wuiss kalau Jeng lihat pasti dijamin mau dech,” jeng Nuri, sahabat kongkowku nyerocos tak bisa berhenti. “Aduh, Jeng, bukannya gak mau, tapi aku khan koleksi tasnya dah banyak banget, ”tolakku secara halus. “Eit…jangan bilang gak mau lho, jeng! Kulitnya beda, terbuat dari anaconda asli, barang langka, Jeng, ambilnya aja dari Amazon, ntar kalau diambil orang nyesel dech karena aku baru nawarin ke Jeng Ndari aja. Soalnya aku tahu hobi Jeng en yang penting itu lho, dokatnya paling tebel, hi….hi….hi…..”
Aku terdiam setelah ngobrol panjang lebar di telepon. Kupikir-pikir lagi tawaran jeng Nuri tentang tas itu. Memang aku dan keempat sahabatku penggemar semua tas, sepatu, dompet dan semua asesories yang terbuat dari kulit ular, bahkan lingeriku juga ada! Ular-ular yang biasa dijadikan barang koleksi kami juga tak sembarangan, selain kulitnya pilihan juga ularnya adalah ular muda, konon katanya kalau jenis kulit ular muda lebih berkilau dan lebih tahan lama. Kalau kulit ular tua biasanya kualitasnya lebih jelek dan mudah rusak. Saking tergila-gilanya aku akan koleksi ular sampai-sampai Aku harus berburu lingeriku sampai ke mancanegara, dan aku tak peduli dengan harga yang selangit, yang penting aku hepi dengan penambahan koleksi kulit ularku yang paling beda dengan rekan-rekanku sesama istri bos.
Aku, jeng Nuri, jeng Anna, jeng Retno dan jeng Sukma adalah para istri bos yang selalu ngumpul bareng untuk mengisi kegiatan sehari-hari selain menemani para suami jika dibutuhkan  dan kebetulan sama-sama penggemar produk-produk kulit ular, bahkan kami bersaing untuk mengumpulkan koleksi sebanyak-banyaknya. Tapi diantara kami berlima yang tidak terlalu ngoyo adalah jeng Nuri, karena dia justru yang rajin berburu produk kulit ular ter update untuk ditawarkan kepada kami, dan biasanya akulah orang pertama yang dia tawari, sehingga koleksikulah yang paling lengkap dan tentunya paling pertama punya jika ada produk baru.
Aku hitung-hitung dulu uang di tabunganku, eh….siapa tahu suamiku sudah mentransfer lagi. Cepat-cepat kuambil handphone dan kutekan tombol sms banking. Yess….aku berteriak kegirangan, tabunganku sudah bertambah hingga mencapai kisaran jumlah sembilan buah nol! Aku segera menelpon jeng Nuri tuk memastikan tas yang ditawarkannya. Tak perlu memakan hitungan hari tas mungil itu telah berpindah ke tanganku setelah kukuras semua isi tabunganku untuk mentransfer ke rekening jeng Nuri.
Yach memang benar omongan jeng Nuri, tas itu berkilau kala di malam hari dan  tampak anggun, sedang di siang hari tas tampak gemerlap hingga kemewahannya terpancar, dan lihat....di bagian depannya ada kantong kecil yang bukaannya tidak memakai risleting ataupun kancing tulang seperti tas-tasku sebelumnya , tapi kancing ini mata ular asli! Seumur aku punya koleksi tas ular tidak pernah mata ular dijadikan asesoris, karena seperti ketika aku tanyakan kepada pembuat tas, konon katanya itu pantangan karena mata ular menyimpan memori yang sangat tajam, seperti kamera digital yang bisa menyimpan langsung gambar  yang dibidiknya dan seperti seorang spionase, sehingga dikhawatirkan ular lain bisa menangkap sinyal tersebut dan mengetahui sang pembunuhnya dan akhirnya mengadakan perhitungan alias balas dendam, dan balas dendam itu selain ditujukan kepada sang pembunuhnya langsung, bisa juga kepada siapa saja yang pernah berhadapan dengannya.
Ach...itu khan takhyul yang berkembang di masyarakat! Sekarang sudah zaman modern dan aku tinggal di apartemen mewah di tengah kota, tak mungkin ular bisa masuk ke dalam apartemen, kecuali kalau aku tinggal di pedesaan yang di setiap kiri kananku ilalang dan pohon bambu, baru kemungkinan ada ular. Lagian, ngapain aku mikirin dunia ular, aku khan bukan pembunuh! Aku hanya pecinta seni dan kemewahan. Dan satu hal lagi, ini ular anaconda, boo, mana ada saudaranya bangsa ular sejenisnya di Indonesia sini, la wong tinggalnya di Amazon sana.
Malam nanti ada pesta yang harus aku hadiri. Aku  sibuk mematut-matutkan baju, tas dan sepatuku, bahkan lingeriku. Aku akan pergi ke pesta  kebun yang diadakan salah satu temanku, jeng Retno, yang merayakan ulang tahun pernikahannya yang kesepuluh. Mereka   merayakannya dengan mengeluarkan dana yang sangat tinggi. Bayangkan saja, pesta kebun di malam hari, dengan lampu merkuri ribuan watt sehingga taman di malam hari disulap seperti layaknya siang hari:terang benderang. Kemudian merekapun sengaja menyewa koki-koki internasional untuk memasak, belum lagi segala tetek bengek pesta yang memakan budget luarbiasa! Wuiss...aku membayangkan kemeriahan pesta itu harus setimpal dengan penampilanku yang serba wah.
Malam harinya aku diantar sopir pribadiku menuju tempat pesta.Tempatnya di sebuah perumahan elit di tengah kota yang menyediakan lahan berupa sebuah taman seluas 500 meteran khusus untuk disewakan dan digunakan sebagai tempat pesta kebun yang nyaman. Ketika aku tiba disana sudah tampak banyak tamu dan mereka semua menatapku dengan takjub. Aku berjalan dengan penuh percaya diri dan senyum puas mengembang di bibirku. Segera aku temui jeng Retno bersama suaminya, dan kamipun cipika-cipiki. ”Hei....Jeng Ndari, kamu cantik banget malam ini, wah...tasnya lagi, keren banget...,” sapa jeng Retno dengan mata sedikit agak mendelik. Aku tahu itu, karena walau suara dan senyumnya dibuat semanis dan seramah mungkin, tetap sorot matanya tak bisa berbohong. Memang kami bersahabat, tapi juga sekaligus bersaing dalam segala hal. Dan dia paling tidak suka kalau melihat aku punya koleksi terbaru yang lebih bagus dan lebih mahal daripada koleksinya. ”Makasih, dan selamat ya atas perkawinan kalian yang sudah melewati angka sepuluh, yang kata orang masa-masa tersulit dalam sebuah perkawinan, hi...hi....,” sambil kukedipkan sebelah mataku kearah suami jeng Retno dan kami bertigapun tertawa hangat. Pasangan jeng Retno dan suaminya tampak mesra di usia perkawinan kesepuluhnya, padahal itu hanya topeng belaka. Kami selalu bersama sehingga kami tahu seluk beluk kehidupan pribadi kami. Selain kami suka kongkow bareng arisan, berburu fashion dan kuliner, kamipun pemburu cinta. Awalnya hanya iseng yang berujung ketagihan, dari bermula arisan uang lama-lama arisan lelaki muda alias brondong. Tapi satu hal yang tidak diketahui oleh semua sahabatku, termasuk jeng Retno, beberapa bulan terakhir ini aku sering berkencan dan bercinta dengan suami jeng Retno, bahkan lingerieku yang sekarang kupakai adalah hadiah dari suami jeng Retno kala kami berdua berkencan di kota Paris.
Makin malam pesta makin hangat, kami semua berpesta, berdansa dan bergoyang dengan bergelas-gelas vodka yang kami teguk. Musik syahdu dan ceria silih berganti membuai gerakan kami. Tak kuhitung berapa lelaki yang memintaku berdansa bersama mereka. Aku memang terkenal sebagai ratu pesta, karena tubuhku yang lentur bisa meliuk-liuk sesuai irama musik, mau disko, mau goyang samba, mau dansa, aku selalu bisa. Sepertinya malam ini memang malam pesta untukku, karena suamiku sedang ke luar negeri sibuk dengan bisnisnya. Bahkan suami jeng Retno merupakan orang pertama yang minta aku temani berdansa, dan sempat-sempatnya pula sambil berdansa lelaki itu mengulum bibirku! Kami sangat menikmati dansa ini kalau tidak disamperi jeng Retno yang meminta suaminya menemaninya dansa, mungkin pelukan kami tidak akan terpisah sampai pagi menjelangpun, seperti yang biasa kami lakukan bersama ketika berjelajah cinta. Setelah terasa capai berdansa aku duduk beristirahat bergabung dengan sahabat-sahabatku. Seperti biasa obrolan kamipun ramai dibumbui tawa cekikikan nakal kami. ”Eh, lihat tuch, ada cowok keren, ”bisik jeng  Nuri sambil matanya tertuju ke satu arah. Mata kamipun serentak mengikuti arah tatapannya. ”Mana?” tanya jeng Retno. ”Huss, jangan keras-keras, lihat tuch pemuda yang sedang berdiri sendirian di bawah pohon rindang, pake baju abu-abu keemasan dan tangannya memegang sloki yang diarahkan ke kita”, bisik jeng Nuri lagi. Dan ya benar di sudut sana tampak seorang pemuda ganteng sepertinya bukan orang Indonesia dan kamipun belum pernah melihatnya. Kami menyangka mungkin pemuda tersebut diajak kemari oleh salah satu tamu undangan jeng Retno. ”Aku samperin,ya? Siapa tahu bisa dijadikan bahan arisan buat minggu depan”, bisik jeng Sukma sambil berkedip binal penuh arti dan diapun melangkah menuju tempat pria itu berdiri. Kami melihat mereka langsung terlibat obrolan hangat dan tampak jeng Sukma cekikikan. Beberapa saat kemudian jeng Sukma kembali ke tempat kami dan menyuruh kami mengundi arisan saat itu juga. Dia bilang pemuda itu sedang terburu-buru karena masa berlaku visanya sudah akan habis besok pagi dan dia akan segera pulang ke negara Amerika setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di Indonesia. Dan tak perlu menunggu waktu lama undian diam-diam kami adakan, tentu saja pemenang pertama adalah jeng Sukma, karena dia yang pertama berkenalan dengan pemuda bule itu, kesempatan kedua jeng Anna, disusul jeng Retno, kemudian jeng Nuri, dan aku kebagian yang terakhir. Dalam hati aku berkata tak apa-apalah berkencan diurutan terakhir juga, yang penting aku tidak diburu-buru waktu antrian, hi..hi...hi.....
Jeng sukmapun berlalu bergandengan mesra dengan pemuda bule itu meninggalkan taman ini. Kami menanti dengan harap-harap cemas, takut si bule tidak kembali. Oh ya kami sampai lupa bertanya siapa namanya. Seperempat jam kemudian, aku lihat si bule sudah berdiri kembali di bawah pohon, sama seperti tadi berdiri bersandar sambil memegang sloki yang diarahkan kepada kami berempat. Tidak perlu menunggu komando kamipun mengerti dengan isyarat tersebut dan jeng Anna, jeng Retno dan jeng Nuri bergantian pergi meninggalkan taman pesta ini.Tinggal hanya aku yang duduk sendirian di kursi yang letaknya agak menyingkur ini.Tak lama si bule datang lagi tapi berbeda dengan yang tadi, kalau tadi dia mengirim isyarat memanggil dari kejauhan, kini dia sendiri yang mendekatiku dan duduk di sampingku. Kutatap wajahnya yang ganteng dengan senyum dan tatap mata yang mempesona. Ah.. kuyakin tak kan ada seorang wanitapun yang tak luluh oleh pesonanya. Tatap matanya tajam dengan bola mata biru kehijau-hijauan. Aku sepertinya pernah mengenal siempunya mata ini, tapi siapa dan dimana? ”You’re so special. You are the girl that I’ve been looking for  a long time. You’re always in my dream and become the shadow of my life. Actually I’m always with you everytime, day and night, surround you again and again,” bisiknya pelan tapi tegas. Aku tergetar, entah perasaan apa yang kini berkecamuk melingkupi relung-relung hatiku. Harusnya aku tersanjung mendengar bisikannya tapi ada perasaan ganjil dan membuatku merinding, apalagi ketika tanganku bersentuhan dengannya, tangan itu licin  tidak berbulu tidak seperti kebanyakan tangan orang bule yang penuh bulu, bahkan seperti hanya kulit jangat saja saking licinnya dan terasa dingin menempel tanganku. ”Who are you?”, tanyaku lirih. ”You will know soon”, jawabnya pendek sambil   membimbingku meninggalkan kursi yang kududuki. Kami menuju pohon tempat dia tadi berdiri dan aku diajak menyelinap ke belakang pohon itu. ”Close your eyes,” bisiknya sambil mencium keningku, ”I’ll show you something”. Aku geli ketika tangannya mulai liar ditubuhku, aku membuka mata dan aku ingin berteriak sekuat tenaga, tapi aku tak kuasa. Ditubuhku melilit seekor ular ukuran besar dengan mata menyala dan lidah yang yang siap menjilat dan menyemburkan bisa. Ada suara yang entah datangnya darimana, ” You have destroyed our population. You always ask someone to kill us. We’re dead young because of you and your friends. We become the victims because of your hobby, your greediness to reach your satisfactions and your money! I come here to kill you all as my family asked. And now your turn to finish our mission to revenge after I succeeded in killing your  friends. I’ll peel your skin step by step and I’ll let you feel how pain it is and I’ll enjoy it the same as you enjoy our skin.” Lamat-lamat aku mendengar namaku dan keempat temanku dipanggil lewat microphone karena pesta telah usai. Aku tak kuasa bergerak hanya perih luar biasa yang kurasa bahkan aku tak kuasa mengerang, kulit ariku lapis demi lapis disayat dengan geriginya yang tajam dan darah membuncah dari setiap pori-pori tubuhku, hanya mataku yang dapat bergerak kesamping, dan terlihat pemandangan mengerikan. Tampak tubuh keempat temanku seperti kelopak bunga mawar merah merekah yang berlapis-lapis…………

Bandung Barat, penghujung Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar