Rabu, 25 Juli 2012

prosa

SIMALAKAMA



Pertama-tama aku perkenalkan namaku buah Simalakama.Aku tidak tahu siapa dan dimana ayah ibuku , dimana tempat tinggalku bahkan aku tidak tahu bagaimana wujudku, bagaimana bentuk rupaku, tapi yang aku herankan aku selalu ada dimana saja bahkan semua orang mengenalku padahal aku sendiri tidak mengenali diriku.
Aku kadang iri kepada teman-temanku yang berjenis buah-buahan.Mereka semuanya punya orangtua , mereka punya wujud , mereka punya bentuk, warna bahkan rasa. Mereka sering mengolok-olokku dan mentertawakanku. Aku sakiiit sekali.Contohya kemarin waktu aku lewat di depan pohon apel dia berkata :”heh….Simalakama, apa kamu betah hidup tanpa wujud? Kamu buah tersial di bumi ini. Kamu hanya punya nama yang membuat semua orang sial. Kamu dibenci manusia. Sekarang kamu juga enyah dariku! Aku tak ingin kesialan menimpaku karena kamu dekat denganku.”
Aku menunduk berjalan tanpa arah. Ketika aku tengadah tak terasa aku sudah ada di dekat dua orang anak masih berseragam yang sedang bercakap-cakap di bawah sebuah pohon rindang. Salah seorang anak berbisik pada temannya:”Bagaimana,Ton? Apakah kita harus kembali ke rumah atau tetap disini bersembunyi? Aku bingung.” Anak yang dipanggil Ton menjawab:”iya,aku juga tak tahu harus bagaimana. Kita bagai makan buah simalakama. Kalau kita pulang kita takut dimarahi karena bolos sekolah, tapi kalau kita tetap sembunyi kita mau makan apa? Sedangkan perutku sudah melilit dari tadi. Aku sudah tak tahan.” Deg….kembali aku kaget mendengar namaku dibawa-bawa, salah apa aku ini? rintihku dalam hati, sedang aku sendiri tidak pernah bertemu dengan kedua anak ini dan aku tidak merasa berbuat apa-apa dengan kedua anak itu. Aku marah dan kesal setelah tahu mereka menyalahkanku.
Aku berjalan kembali tanpa arah. Sampailah aku di sebuah gubug terpencil. Disana tampak seorang ibu sedang mengusap kepala anak gadisnya yang terisak-isak dipelukannya. Nah…..aku senang melihat pemandangan indah ini yang tak pernah aku rasakan seumur hidupku; kehangatan kasih sayang seorang ibu. Aku mengendap-endap menguping pembicaraan mereka.:”Nak…..bukannya ibu tak sayang kamu. Ibu juga tak ingin memaksamu, tapi ibu bagai makan buah simalakama, kalau ibu paksa kamu kawin sama tuan Gendut kamu akan putus sekolah, tapi kalau ibu menolak lamarannya ibu takut dia akan menyuruh preman kampung menyiksa bapakmu karena tak bisa bayar utang.” Lagi-lagi aku terkejut mendengar ibu itu menyebut namaku. Pesona seorang ibu yang tadi aku rasakan hilang seketika berganti dengan kebencian. ”ahhhhhh….rasanya sangat berat bagi ibu ‘tuk memutuskannya,anakku sayang….Ibu tak kuasa menolak takdir yang terjadi pada keluarga kita.” Suara sang ibu tak terdengar lagi setelah berucap kepada anaknya,hanya suara isak tangis sang anak gadis yang terdengar perih, seperih hatiku yang selalu mengacaukan kehidupan semua orang.
Aku terkejut ketika sadar aku sudah ada di dalam sebuah ruangan kelas yang berisi penuh anak-anak yang sedang belajar. Tampak di depan kelas berdiri seorang ibu guru sedang mengajar Bahasa Indonesia. ”Anak-anak, masih ingat peribahasa yang ibu terangkan kemarin?” “Masiiihhhhh….,”jawab mereka serempak. ”Bagus, coba Dea, apa arti peribahasa Bagaikan makan buah simalakama?”  Anak yang dipanggil Dea tampak berfikir, ”Ng…..apa ya? Oh iya Bu, saya ingat. Artinya jika dimakan ibu mati tak dimakan ayah mati.”  “Pintar”,puji bu guru kepada Dea.
Hah….apa tadi? Mungkinkah orang tuaku tak ada gara-gara aku? Tapi masa sih aku dimakan? Huuhh…bingung!
Aku kembali meneruskan perjalananku sambil bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua orang yang aku temui menyalahkanku. Sepertinya aku ini biang kerok yang selalu membuat masalah di bumi ini. Hei…lihat ….ada sorang gadis kecil mungil sedang menggendong seekor anak kucing. Dia berjalan perlahan menuju sebuah taman yang dipenuhi alang-alang. Aku mendekatinya aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan di sana. Kemudian gadis itu menurunkan kucingnya di dekat pohon cemara. ”Pussy sayang…..maafkan aku,ya….aku sebenarnya sangat sayang sama kamu tapi kalau aku tak sembunyikan kamu disini mamaku pasti akan membuangmu ke pasar, aku bagai makan buah simalakama, Pussy. Please…jangan marah,ya? Aku pasti nengok kamu dan membawakan makanan untukmu tiap hari. Aku janji deh.” Setelah mengelus kepala kucing dan menciumnya gadis itupun berlalu. Aku menatap kucing itu. Aku merasa marah campur iba. Kenapa aku lagi aku lagi yang disalahkan?  Kenapa kucing itu harus terbuang gara-gara aku?
Dalam diam aku merenung,  mungkinkah aku sembunyi supaya tak seorangpun yang akan mengenaliku dan menyebut-nyebut namaku? Belum lagi aku menghela nafas kulihat seorang remaja meraung-raung ditarik oleh dua orang pria kekar ke dalam mobil. Dibelakangnya tampak beberapa orang memperhatikannya. Salah seorang diantara mereka berkata: ”Yah….inilah jalan terbaik bagi si Anna dan keluarganya. Lebih baik dia dibawa ke rumah sakit jiwa.”  Kemudian wanita di sebelahnya menimpali: ”Memang…,sebetulnya kasihan juga pada ibunya. Dia bagai makan buah simalakama. Jika si Anna di rumah terus seperti kemarin dia malu sama tetangganya karena anaknya sering berbuat onar dan membuat tetangga ketakutan dengan ulahnya itu tapi kalau si Anna di rumah sakit dia kesepian di rumahnya yang besar itu karena  mereka kan hanya tinggal berdua.”
“Sudahlah…,tak usah diperbincangkan lagi yang penting kita aman sekarang, tak akan ada lagi yang teriak-teriak tengah malam dan merusak lagi barang-barang kita,” timpal lelaki yang berdiri di belakang.
Sedih, marah, kesal, benci……………..kemana harus kutumpahkan semua perasaan ini? Kenapa aku harus ditakdirkan jadi buah simalakama yang hanya menyusahkan setiap orang saja? Aku marah pada semua orang yang selalu menyalahkan aku dengan semua persoalan mereka. Aku kesallllll……... aku benciiiiiiiiii……….aku teriak sekuat tenaga tapi tak satupun mahluk yang peduli dengan aku. Siapa aku? Bagaimana rupaku? Darimana datangnya aku? Kapan kalian mengenalku? Sampai kapan kalian menyalahkanku? Wahai manusia tolong jawab semua pertanyaanku. Aku sudah tak tahan. Aku ingin bunuh diri tapi bagaimana caranya? 

                                                                                 Bandung,medio Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar